Ketika aku harus terpaksa merantau ke tanah jawa untuk melanjutkan studyku, karena di desaku tak ada yang namanya smp, sltp, atau apapun namanya sekolah lanjutan setelah sd. Sekolah sltp terdekat berjarak krang lebih 30 km dari desaku, dengan jalanan 20 km masih berupa tanah. Sehingga apabila ada anak yang hendak meneruskan sekolahnya, ia harus ngekos di desa lain. Itulah alasan mengapa aku bisa terdampar di pondok modern darussalam gontor. Sebagian besar teman-teman laki-lakiku dan beberapa teman perempuanku harus takluk pada keadaan untuk bekerja di perkebunan sawit yang memang menjamur di daerahku, dan hatiku selalu miris ketika mendengar bahwa pemilik perkebunan-perkebunan besar itu adalah orang china atau malaysia. Bahkan, sebagian besar teman perempuanku bahkan hanya menunggu waktu untuk dipinang oleh pemuda desa, atau berharap ada bos dari luar desa yang datang melamar mereka untuk sedikit mengangkat derajat hidup mereka. Dan hanya sebagian sangat kecil dari meraka yang dapat melanjutkan pendidikan mereka dengan alasan klasik, yang juga tertulis dalam mahfudzat “ ad dirhamu”, ya karena terbentur masalah biaya. Sebagai catatan, dari 16 teman sdku angkatan tahun 2003, hanya 2 orang yang hingga kini masih bisa menikmati bangku pendidikan, aku dan seorang temanku yang kini menempuh pendidikan kedokteran di universitas bengkulu.
Kini, aku telah sampai disini, dan ini bukanlah akhir, baru permulaan dari terwujudnya mimpi-mimpiku. meskipun aku telah berjalan pada track visiku yang benar, semuanya bergantung juga pada kerja keras dan konsistensiku nantinya dalam usaha shaping my uncertain destiny.
“Our challenges may be new. The instruments with which we meet them may be new. But those values upon which our success depends — honesty and hard work, courage and fair play, tolerance and curiosity, loyalty and patriotism — these things are old. These things are true. They have been the quiet force of progress throughout our history.” ( Barrack obama)
0 komentar:
Post a Comment