Tuesday, 29 May 2012
The Ultimate Me
Kangen rasanya menulis seperti ini, lepas dan bebas tanpa target. Juga tanpa terkekang koridor-koridor macam deadline, subtansi, narasi, dan semua tetek bengek itu. Barangkali semua itu telah menaikkan derajat kualitas tulisanku. Namun ada kalanya menulis secara teratur adalah membosankan. Kali ini aku ingin sedikit narsis, hehe (soalnya udah lama nggak narsis, wkwk).
Beberapa waktu yang lalu lagi-lagi sebuah perjumpaan dengan teman lama menginspirasiku. Kali ini bukan berupa motivasi seperti yang biasanya aku tulis di note-note facebook. Lebih sederhana meski tetap mengandung pelajaran. Kawanku itu, Arif namanya, mengatakan sesuatu yang membuatku terenyuh dan sedikit geer, hehe.
“Kamu sudah jauh lebih baik sekarang, bukan kamu yang dulu lagi.”
Sejenak pikiranku menerawang, mencoba mencari perbedaan dari aku (dulu) dengan aku (sekarang). Dan, hehe, jika perbandingannya adalah antara Kurniawan sekarang dengan Kurniawan CLI yang dia kenal, tentu saja ada perbedaan besar. Kurniawan sekarang sudah berjenggot, kumisnya mulai tebal, punya banyak penggemar rahasia (meski tetap jomblo, hahaha). Mungkin satu-satunya persamaan yang bisa dikenali teman-teman lamaku adalah tahi lalat di atas bibir serta perawakan yang masih konsisten kurus (huadoh, gemuk dong pleeaaassseee).
Tapi, tentu saja bukan itu yang dia maksud. Perubahan fisik yang merupakan keniscayaan tentunya tak akan terlalu menarik perhatiannya, aku tahu yang dia maksud lebih menjurus pada perubahan emosional. Well, aku sendiri sebenarnya bingung bagaimana bisa aku menjadi seseorang yang jauh berbeda dengan kepribadianku dulu. Puji Tuhan.
Yah, semenjak raising from the death, ruhku seperti bukan manusia, (haha, asli yang ini lebai, tapi aku coba mencari padanan kata yang lebih simple, tapi bingung).
Capek uey, mau belajar lagi bis ini, kapan-kapan lagi yah.
Friday, 11 May 2012
Mencintai Bayangan
Bahkan saat pertama kali bertatap, kita sudah tersentak dengan adanya "aku" lain di alam nyata. Anehnya, "aku" yang satu ini berbeda bentuk, walaupun sangat similar. Dan sejak saat itu, kita bersusah payah mengelak adanya sosok yang 90% refleksi diri kita, meski dalam bungkus yang lain versi.
Kita saling menahan diri untuk tidak mengungkapkan kekaguman secara gamblang, serta lucunya saling menertawai kekurangan yang sebenarnya adalah nilai minus pribadi kita sendiri.
“Eh Son, coba kamu gemukan dikit ya…” (dengan sisa kalimat yang tertahan di ujung lidah, mungkin lidahnya tiba-tiba kelu) Kata kamu untukku, aku hanya bisa tersenyum sambil mbatin, “Oh Tuhan, harus makan berapa banyak lagi supaya gemuk.” Hahaha…
Akupun pernah berujar, “Dasar item!” dan kamupun hanya tertawa. Tahu nggak, waktu aku ngomong begitu keningku mengernyit, dan mataku menyipit sedikit melihat kulitku, hahaha.
Tapi, perjalanan kita selanjutnya bukan di sirkuit yang hanya tinggal mengatur gigi persneling dan speed, sedikit fokus pada pedal rem saat belokan, lalu meluncur nyaman hingga garis finis. Kisah kita adalah petualangan di jalan raya, kita terpisah karena lampu merah, semakin berjarak ketika kau mengambil belokan kiri sementara aku pecah ban, dan aku sepertinya tak mungkin lagi berjalan beriringan karena mobil-mobil mewah telah mengerubungimu.
Haha, mungkin kita terlalu logis bahkan untuk sisi manusia yang sulit dijabarkan oleh teori, perasaan. Tetapi, ada kalanya kita harus mengaku kalah pada takdir yang berkata “kita ditakdirkan bersama”.
Terlepas dari pelbagai perbedaan yang kita sepakati secara tidak resmi menjadi tembok pemisah antara kita, ada kenyataan yang lebih sederhana bahwa ternyata kita begitu identic. Bahkan dari hal yang paling sepele, sesuatu yang tak dianggap oleh Sharkespearse, “apalah arti sebuah…” Ya, nama.
Dan, mungkin ini jalan pembuka takdir, kita selalu menjadi saksi atas ketegaran yang lainnya dalam menghadapi kekejaman cinta. Serta perlahan-lahan mulai mafhum bahwa “dirimu” adalah orang yang mengagumkan dengan ketegaran menghadapi semua problema itu.
Pada akhirnya, kita tidak bisa menolak kenyataan bahwa “kamu” adalah orang yang pantas “untukku”. Tidak sempurna memang, tapi sepertinya kebersamaan kita adalah sebuah keniscayaan.
Loving the reflection of me, it is you.
Tuesday, 10 January 2012
Terbang
Hanya kata-kata yang bisa mewakili semuanya, mengantarkan kepergiannya. Aku biarkan waktu membawanya terbang, dan tak akan kembali.
Biar ia mengutas senyum bersama hidupnya yang baru, dan aku kembali menggeluti mimpiku, menghabiskan malam-malamku bersama teman lamaku yang paling setia, tuts tuts key board ini. Suatu saat ia akan tahu, sepenuhnya diriku. Karena dia pasti membacanya. Dan karena aku tak benar-benar pergi darinya, aku hanya pergi dari kenyataannya. Aku akan menjadi fatamorgana yang nyata namun tak bisa lagi disentuh, karena aku telah mengudara.
Aku masih ingin mendengarkan kata itu, tapi untuk saat ini adalah lebih baik bagiku untuk tidak mendengarnya. Mungkin juga untuk selamanya.
Nanti, kau akan tahu sobat. Aku hanya menginginkan yang terbaik untukmu. Tapi, sekali lagi ini menurutku. Dan jika “yang terbaik” itu bukanlah sesuatu yang engkau anggap baik, tentu saja aku mempersilakanmu atas semua keputusanmu. Dan karena aku juga punya pilihan. Biarlah gengsi masing masing dari kita menghancurkan rasa kita yang terdalam. Lalu, mari kita nikmati bagaimana rasanya?
Sesalkah? Sekarang belum bisa kita terka bagaimana nasibnya.
Semoga Tuhan memberimu kesempatan, untuk mencicipi rasanya bersaing denganku, menjadi rivalku. Dan aku akan sangat tertantang, jika kau bisa mengalahkanku. Karena dengan begitu, aku akan mengejarmu dan balik mengalahkanmu.
Biar ia mengutas senyum bersama hidupnya yang baru, dan aku kembali menggeluti mimpiku, menghabiskan malam-malamku bersama teman lamaku yang paling setia, tuts tuts key board ini. Suatu saat ia akan tahu, sepenuhnya diriku. Karena dia pasti membacanya. Dan karena aku tak benar-benar pergi darinya, aku hanya pergi dari kenyataannya. Aku akan menjadi fatamorgana yang nyata namun tak bisa lagi disentuh, karena aku telah mengudara.
Aku masih ingin mendengarkan kata itu, tapi untuk saat ini adalah lebih baik bagiku untuk tidak mendengarnya. Mungkin juga untuk selamanya.
Nanti, kau akan tahu sobat. Aku hanya menginginkan yang terbaik untukmu. Tapi, sekali lagi ini menurutku. Dan jika “yang terbaik” itu bukanlah sesuatu yang engkau anggap baik, tentu saja aku mempersilakanmu atas semua keputusanmu. Dan karena aku juga punya pilihan. Biarlah gengsi masing masing dari kita menghancurkan rasa kita yang terdalam. Lalu, mari kita nikmati bagaimana rasanya?
Sesalkah? Sekarang belum bisa kita terka bagaimana nasibnya.
Semoga Tuhan memberimu kesempatan, untuk mencicipi rasanya bersaing denganku, menjadi rivalku. Dan aku akan sangat tertantang, jika kau bisa mengalahkanku. Karena dengan begitu, aku akan mengejarmu dan balik mengalahkanmu.