Ini adalah saat, untukku kembali meretas jalan. Menjadi seorang pujangga. Pekerjaanku yang sebenarnya meski telah lama kulupakan.
Dahulu aku adalah raja kata-kata, yang demikian mahir merangkainya. Namun keegoisanku pulalah yang meruntuhkan singgasana. Dikala harus memilih, untuk berkorban demi itqan tercinta, atau berkuasa dalam CLI yang jumawa, aku memprioritaskan yang kedua. Sehingga untuk jangka waktu yang lama, aku harus mengucapkan selamat tinggal kepada teman-teman lamaku yang telah dulu hadir dalam hidupku, buku, pena, keyboard computer, dan nikmatnya berdiskusi.
Mesipun pekerjaanku yang baru tak jauh dari kata-kata pula, bahkan kini dengan bahasa berbeda. Disanapula aku harus berpura-pura menjadi raja, yang semua perintahnya ditaati para hamba. Membanggakan memang, hal itu pulalah yang merubah pribadiku, dari seorang pengecut yang hanya bisa berdiam diri menjadi seorang yang lebih berani berkata-kata. Namun, waktuku untuk bercengkrama dengan sang kertas dan pena menjadi terkebiri, Ataukah hanya karena kemalasanku saja? Aku tak tahu pastinya.
Sekarang, aku harus memulai semuanya dari awal. Aku tak lagi bisa menulis puisi-puisi indah dengan menutup mata. Telah hilang dari diriku kemampuan tuk membiarkan sang pena berjalan dengan sendirinya, berkreasi dengan tintanya, dan datang dengan sebuah karya indah. Sekarang aku harus berfikir dalam-dalam, mencoba mengorek sisa-sisa hiperbola yang ada. Merestore file-file yang dulu ter delete karena mungkin kuanggap spam. membackup data-data yang dulu sempat membuatku selalu mendapat “A” dari taufiq affandi, guru sastraku yang datang di senin malam, tepatnya di tunis lantai 2, kamar paling pojok,201, ITQAN Group tercinta.
Semua ini karena keyakiananku mengatakan, aku bisa berkarya. Setidaknya seperti apa yang telah diperbuat Habiburrahman El Shirazy, yang dengan sukses mevisualisasikann sosok sempurna Fakhri dalam “Ayat-Ayat Cinta”nya, merubah opini pelajar malas dalam diri Khoirul Azzam menjadi seolah pahlawan keluarga dalam “Ketika Cinta Bertasbih”nya. Atau setingkat dengan Andrea Hirata, yang dengan sedikit rekayasanya mampu mempositifkan arti mimpi, sekaligus membuat gurunya dihargai demikian besarnya. Padahal di ranah Sumatra sana, sebagian besar guru di daerah pedalaman, melakukan hal yang sama dengan pengorbanan ibu Muslimah. Aku bahkan berani bertaruh bisa membuat sesuatu yang lebih baik dari kehampaan proversi dalam Negeri Lima Menara. Aku sedang mencoba tuk memahami Science, untuk kemudian menyisipkannya dalam sastra nusantara, seperti yang dilakukan para pujangga di Negara dunia pertama, akan lebih berasa karena terbungkus realita dan fakta.
Maaf jika dalam blogku akhir-akhir ini, kalian hanya bisa menemukan ide hebat yang terbungkus sampah. Tulisan-tulisan pendek yang tak berkemasan rapi, tak ada referensi, pun penataan formalitas kata-kata yang terkesan hancur. Tentunya tulisan Buya Hamka dalam penjara pun lebih baik daripada ini. Tetapi aku baru masuk penjaraku kawan, setidaknya untuk saat ini, ha ha. Jadi ini semua baru dimulai. Namun , cobalah kalian tangkap sang arti yang tersembunyi, kuharap engkau menjadi salah satu orang yang dari awal menyadari. Ada ide-ide sehebat pikiran Socrates, keobyektifan setulus Al Kindi, dan koreksian seideal Ibnu rusyd. Sebelum nantinya aku membungkusnya dengan kemasan baru yang tentunya unik dan diminati pembeli.
Aku berharap kalian sudi tuk tinggalkan kesan, pesan darimu akan bermakna signifikan, sebagai acuan tuk mereformasi tulisan. Puja-puji atau caci maki, sanjungan ataupun hinaan, apapun hanya akan kusikapi sama, terimakasihku yang sebesarnya. Tetapi tentunya mengenai ini, bukan mengorek sisi pribadi atau hanya sekedar memancing emosi. Semuanya ada etika.
Kuharap dari pembaca ada seseorang yang kunanti, seorang partner yang saling mengoreksi. Yang selevel denganku atau lebih baik. Nantinya kuharap ia menjadi sahabat sejati, atau lebih dari itu barangkali, ha ha ha. Yang benar, setulusnya hatiku aku kini tengah mencarii seorang sahabat sejati, yang bisa menimpali ide-ideku dan membalas alasan-alasanku, belum kutemui sejauh ini. Ataukah perfeksionismeku kali ini tak berarti? Aku tak tahu, namun aku akan tetap sabar menanti.
Dari hamba Allah yang mencoba memahami hidup, namaku Kurniawan Dwi Saputra.
0 komentar:
Post a Comment