Pages

Saturday, 13 April 2013

Iman dan Islam


Akhir-akhir ini saya menjadi lebih sering takut. Takut berbicara, takut menulis, takut mengungkapkan kreatifitas. Di satu sisi, saya beryukur karena itu berarti kurang lebih saya belajar tentang tanggungjawab, tentang ilmu yang tidak bisa sembarang diungkapkan. Ada sebuah ungkapan anonim mengatakan: most of problems in life come becauseof two reasons: first, we act without thinking, or the second, we keep thinking without acting. Belakangan pula, saya sedikit banyak mulai berdamai dengan realita. Saya mulai tuliskan ide dalam bentuk bangunan. Pondasinya dari bahan-bahan ilmiah para pendahulu, kerangkanya berbentuk desain-desain epistemologis klasik. Saya belajar untuk mencampur adonan bahan bangunan dengan takaran yang sudah ditentukan. Juga hati-hati kuikuti cara-cara menyambung pasak, mengukur kedataran lantai, dan lain-lain. Saya patuh pada tuntutan sistematika. Tapi saya tidak menyerahkan seluruhnya pada sistem. Ada beberapa hal yang saya biarkan berkeliaran, mencari bentuknya sendiri. Kalaupun benar kata sebagian orang bahwa kehidupan di dunia ini tersusun dalam pola-pola, maka ada satu keniscayaan dari pendapat tersebut: bahwa pengetahuan manusia akan pola-pola itu sempit, partial dan terbatas. Sistem-sistem tersebut, betapapun terlihat sempurnanya, mempunyai celah, dan dalam celah-celah itu rahmat Tuhan dituangkan melimpah ruah. Kehidupan, menurut Hegel, adalah sebuah hubungan timbal balik. Kausa mengundang antitesa, lalu muncullah sintesa. Dewasa ini, kajian tentang mekanika kuantum semakin menyempurna. Teori ini mengatakan bahwasanya mekanisme kehidupan ini lebih mudah diterjemahkan sebagai sebuah keteraturan yang acak, randomness. Penjelasan sederhananya teori ini adalah bagaimana memahami wanita, bukankah wanita sangat tidak tertebak? Tapi, tanpa teori fisika kuntum,seorang muslim seyogyanya menjadi seorang yang penuh optimisme. Dalam salah satu hadis dikatakan bahwa kasih sayang Allah SWT tersebar dimana-mana, meliputi langit dan bumi. Keyakinan akan kasih sayang AllahSWT ini adalah sisi agresif dari akidah umat Islam. Dari sana manusia bertolak mengerjakan segala urusan dengan energi positif, karena mereka percaya dimana-mana ada rahmat Tuhan. Sementara itu bagian defensifnya adalah nama agama itu sendiri, Islam. Seorang orientalis, Huston Smith mengatakan bahwa tenaga pendorong umat Islam untuk menggarap masalah duniawi dengan kesungguhan luar biasa diperoleh karena umat Islam menyerahkan diri secara total kepada kehendak Ilahi. Sikap seperti itu di khazanah Barat disebut nothing to loose, tak ada yang perlu dikhawatirkan dari kekalahan. Formula dari dua sikap di atas, keyakinan atas rahmat Tuhan dan sikap penyerahan total atas hasil akhir adalah kekuatan dahsyat. Jika diibaratkan dengan strategi sepakbola, dua unsur itu sama-sama punya kekuatan agresif dan defensif yang saling mendukung, dan yang paling penting dari semua itu, seperti kata Mourinho mengenai rumus kemenangan, seimbang. Formula itu mari kita namakan iman saja, berdasarkan pengertian etimologinya, keyakinan. Keyakinan akan dua hal yang saling terkait, dan pengaruh-mempengaruhi. Karena alasan itu, juga untuk sebuah alasan yang tak terdefenisikan –karena subyektif-, saya antipatik dengan ungkapan anonim di atas. Kata-kata Betrand Russel berikut lebih saya setujui: “The whole problem with the world is that fools and fanatics are always so certain of themselves, but wiser men so full of doubts.” Masalah di dunia ini adalah bahwa orang-orang bodoh dan fanatik selalu yakin dengan diri mereka, sementara orang bijak justru tak lekang dirundung ragu.” Saya suka ungkapan ini terutama karena mirip dengan bagaimana konsep iman dan tak beriman begitu determinan dalam Islam.

0 komentar:

Post a Comment